Saudara pembaca tersayang, sebenarnya ada beberapa draft yang sudah sekitar seperempat atau setengah saya tulis, tapi karena tidak disiplin menulis lagi selama kuliah dan liburan, sehingga hiatus cukup panjang (maaf ya T_T), jadinya di tengah perjalanan menulis saya menabrak jalan buntu baik dalam pemilihan kata maupun pemilihan pendekatan untuk menyampaikan maksud saya (makin ditulis malah makin bingung hoho). Karena itu, posting kali ini saya isi esai GUIM yang saya buat sudah cukup lama (kalau tidak salah judulnya: Pendidikan Berkarakter) dengan cara penulisan favorit mahasiswa (copas maksudnya) dari esai yang saya kirimkan waktu itu ke Raihan (Panitia Gerakan UI Mengajar yang kacamata). Selamat menikmati!
Pertama-tama izinkan saya memulai tulisan saya dengan mengutip seorang Nona Sue[i], yang mengatakan;”It’s full of knowledge like a file cabinet with maps; and shortcuts for figuring things out.” Pernyataannya dibuat sebagai acuan terhadap otak, saat peserta didiknya merasa tidak mampu mengerjakan sebuah soal. Otak, sebuah organ yang dimiliki manusia sejak ia dilahirkan, yang dilindungi sedemikian rupa oleh tengkorak yang begitu keras, yang mengontrol hampir segala aktifitas organ lainnya, yang sedemikian penting bagi manusia, dan yang juga sering dianggap remeh hanya sekedar sebagai repositori pengetahuan. Bahkan lebih daripada itu, dalam perspektif pendidikan konvensional di Indonesia, seringkali manusia sebagai peserta didik hanya dianggap sekedar sebagai sebuah wadah kosong yang akan diisi oleh sang pendidik. Saya rasa adalah perlu untuk meninjau kembali apa arti dari pendidikan itu sendiri. “Education” berasal dari sebuah kata kerja dalam bahasa Latin “educare” yang secara harfiah dapat diartikan sebagai “menarik keluar” atau “memimpin keluar”. Kedua arti tersebut menunjukkan bahwa telah ada sesuatu yang tersimpan yang berusaha untuk dibawa keluar, bukan memasukkan apapun kedalam. Entah, apakah filosofi ini juga yang merupakan dasar dari pendidikan yang diterapkan di nusantara, atau memang pada dasarnya perspektif pendidikan menurut budaya Indonesia adalah pengisian wadah kosong, saya rasa sekarang anda dapat melihat perbedaan yang cukup substansial diantara keduanya. Proses pendidikan dengan melihat manusia sebagai kotak berharga yang telah menyimpan harta karun berupa pengetahuan akan berusaha untuk mengeluarkan harta tersebut sehingga dapat digunakan, sedangkan proses pendidikan yang melihat manusia sebagai kotak berharga yang kosong akan berusaha menjejalkan pengetahuan kedalam kotak tersebut, betapa rendahnya derajat manusia seandainya benar dilihat dengan cara demikian.
Implikasi dari perbedaan filosofis perspektif pendidikan tersebut nyata dan tidak dapat dienyahkan begitu saja. Michel Thomas, seorang guru bahasa terkemuka di dunia, dalam proses belajar mengajarnya menerapkan prinsip “jika pelajar belum belajar, pengajar belum mengajar” (If the learner hasn’t learned, the teacher hasn’t taught). Prinsip tersebut hanya mungkin untuk diterapkan jika pengajar ditempatkan sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk menolong para pelajar mengembangkan diri, bukan menempatkan pelajar sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk menerima ilmu dari pengajar, karena jika demikian, yang menjadi tempat pertama dipersalahkan ketika proses belajar mengajar tidak berhasil adalah kapasitas dari pelajar itu sendiri, yang konsekuensi nyatanya sebagai contoh dalam masyarakat dapat dilihat ketika murid yang gagal memberikan performa sesuai ekspektasi dalam evaluasi mendapatkan cap “bodoh” atau “gagal”.
Demikian halnya dengan pendidikan karakter. Dasar dari pendidikan karakter harus melihat manusia sebagai pemilik dari sebuah karakter yang mulia, bukan sebagai tanah liat yang akan dibentuk menjadi karakter yang diinginkan oleh pendidik. Karena siapakah saudara dan saya, menganggap diri kita Tuhan, berusaha untuk membentuk ulang ciptaan-Nya yang paling mulia diantara makhluk lain sesuai dengan kehendak diri, sedangkan tidak seorangpun manusia sempurna. Adakah Pancasila atau segala pedoman apapun yang ditulis dengan tangan dan pikiran manusia dapat menyatakan satu hal benar ataupun salah secara absolut sedangkan sejarah telah mencatat bahwa suatu hal yang benar adalah salah dilain hari dan sebaliknya? Jika tidak, maka janganlah kiranya seseorang menuntut orang lain untuk bertumbuh menjadi seperti ini atau seperti itu, tetapi baiklah ia menunjukkan kualitas terbaik dalam hidupnya dari apa yang ia percaya sehingga orang lain dapat melihat bahwa hal itu baik dan mengikutinya. Pendidik ada untuk menjaga peserta didik agar tidak mengambil karakter yang bukan karakter mereka sebenarnya melalui nasehat dan pendampingan. Keputusan untuk mengikuti karakter ini atau itu berada ditangan setiap individu, sehingga kemudian mereka dapat membuktikan apakah karakter tersebut ada didalam diri mereka dan mungkin dalam versi mereka sendiri. Perspektif ini dapat memberikan setidaknya dua hal yang baik. Pertama, kemungkinan penggunaan pendidikan sebagai kendaraan pihak tertentu untuk mengindoktrinasi suatu ajaran dapat dipersempit dan mungkin dikalahkan sama sekali. Kedua, pendidikan tidak seolah menjadi sebuah pabrik robot yang menciptakan orang-orang dengan pikiran yang sama dan perilaku yang sama, tetapi orang-orang dengan pikiran bebas yang berkembang sesuai karakter yang mereka pandang baik.
Akhir kata, izinkan saya mengutip Dr. Hubertus Kasan Hidajat yang mengatakan,“Indonesia memiliki kurikulum terpadat di dunia”[ii]. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa bahkan sebelum adanya penambahan jam belajar untuk subjek-subjek yang dianggap mendidik akhlak seseorang, para peserta didik telah dijejalkan sedemikian rupa dengan pelajaran-pelajaran, apalagi kemudian hari dengan rancangan kurikulum baru yang ingin menambah lagi beban pelajaran. Fakta telah mencatat, kebajikan tidak diajarkan dalam ruang kelas, tetapi ditunjukkan melalui contoh nyata yang berlangsung terus menerus, sehingga pendidikan berkarakter sesungguhnya dimulai dari pendidik, bukan peserta didik.